Bangkrutnya Industri Buku, Nestapa Penulis di Negeri yang Malas Membaca

Penulis bukan sekadar pekerja kata, mereka adalah penyalur cahaya
di tengah gelapnya ketidaktahuan.  Jika mereka lapar dan sunyi,
maka bangsa pun akan kehilangan arah dan makna. 
 
 

Buku adalah jendela ilmu. Pepatah klasik ini bukanlah sekadar slogan, tetapi refleksi dari peradaban yang menjadikan pengetahuan sebagai fondasi kemajuan. 

Namun ironisnya, di negeri ini, jendela itu mulai berdebu, kusam, dan nyaris tertutup. Laporan Harian Kompas pada 26--27 Mei 2025 membuka mata publik tentang getirnya kehidupan para sastrawan Indonesia. Mereka yang sejatinya adalah penjaga imajinasi bangsa, kini justru berjuang sekadar untuk hidup layak.

Keprihatinan itu menjadi semakin nyata jika kita menengok fakta bahwa banyak dosen di Indonesia juga terpaksa menyisihkan sebagian gajinya untuk membiayai publikasi ilmiahnya. 

Padahal, menulis adalah bentuk pengabdian intelektual dan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan. Bila para penulis buku ilmiah, akademik, hingga sastra tidak memperoleh penghargaan yang layak dari sistem yang ada, bagaimana mungkin ekosistem perbukuan bisa bertahan?

Kondisi penerbitan buku di Indonesia saat ini berada di titik nadir. Dari 2.721 anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), kini hanya 982 yang aktif. 

Artinya, lebih dari 1.700 penerbit telah tutup. Ini bukan sekadar statistik, tapi pertanda akan hancurnya sebuah ekosistem yang menopang pendidikan, literasi, dan pembangunan karakter bangsa.

Industri perbukuan bukan hanya tentang mencetak dan menjual buku. Ia adalah simpul dari banyak komponen, dari penulis, editor, desainer, penerbit, distributor, toko buku, dan pembaca. Jika satu saja komponen itu melemah, maka seluruh rantai nilainya akan goyah. 

Dan yang kini paling terdampak adalah penulis, baik sastrawan maupun akademisi, yang tidak lagi bisa menggantungkan harapan dari royalti.

Tingginya harga kertas, mahalnya biaya produksi, hingga beban pajak yang belum memberi keberpihakan pada industri kreatif turut menekan napas para pelaku penerbitan. 

Penjualan buku merosot drastis. Ditambah dengan rendahnya budaya membaca masyarakat dan maraknya pembajakan buku secara digital, maka lengkaplah sudah penderitaan dunia perbukuan kita.

Padahal, di balik setiap buku yang diterbitkan, ada ratusan jam berpikir, riset, menulis, dan menyunting. Tak ada profesi kreatif yang serupa dengan penulis, yang menciptakan nilai dari ide dan kata. 

Mereka adalah pekerja intelektual. Namun ironisnya, para penulis justru menjadi pihak paling terakhir yang menikmati hasil dari sebuah buku.

Kondisi ini tentu tak bisa dibiarkan terus berlarut. Negara mesti hadir dan mengambil peran strategis untuk menyelamatkan industri perbukuan. 

Dibutuhkan sebuah kebijakan publik yang memihak: mulai dari insentif pajak bagi penerbit dan penulis, subsidi bahan baku, hingga proteksi terhadap pembajakan digital.

Salah satu opsi yang bisa diambil adalah mengadopsi skema dana abadi literasi dan publikasi, seperti halnya dana abadi pendidikan. 

Pemerintah dapat membentuk badan khusus yang mendanai penerbitan buku-buku bermutu dan memastikan penulisnya mendapatkan bayaran yang manusiawi, tak hanya bergantung pada royalti yang tak pasti.

Bersamaan dengan itu, literasi sebagai budaya harus dikembangkan secara massif, mulai dari sekolah hingga komunitas. Ketika membaca menjadi gaya hidup, maka buku akan kembali memiliki pasar. Peningkatan permintaan tentu akan menumbuhkan kembali industri penerbitan yang selama ini terseok-seok.

Kita juga perlu mendorong reformasi sistem distribusi buku nasional. Saat ini, banyak buku bagus tak sampai ke pembaca karena distribusi yang lemah. 

Dukungan digitalisasi melalui platform e-book legal, perpustakaan digital, dan market book online yang adil, perlu diperkuat dengan regulasi perlindungan hak cipta yang tegas.

Di luar itu, perlu juga dikembangkan skema kerja sama antara lembaga pendidikan, kementerian, dan swasta dalam mendanai penulisan dan penerbitan buku. 

Buku ajar dan karya ilmiah misalnya, dapat disubsidi institusi pengguna agar tidak memberatkan dosen penulis maupun mahasiswa sebagai konsumen akhir.

Tentu kita tak boleh melupakan aspek ekosistem kewirausahaan perbukuan. Penulis perlu dibekali kemampuan dasar kewirausahaan agar mampu membangun merek pribadi dan menjangkau pembaca secara langsung. Demikian pula penerbit kecil perlu dibina melalui inkubator bisnis kreatif.

Jika negara mampu memberi insentif untuk sektor manufaktur dan pertanian, maka tidak ada alasan untuk mengabaikan sektor perbukuan yang menjadi tulang punggung ekosistem ilmu dan kebudayaan. Keadaban sebuah bangsa bisa dilihat dari bagaimana ia memperlakukan para penulisnya.

Membangun ekosistem perbukuan yang sehat adalah proyek jangka panjang. Tetapi ia harus dimulai sekarang, dengan keberanian merumuskan kebijakan yang inklusif dan berpihak. Jika tidak, kita akan menyaksikan ambruknya bukan hanya penerbit buku, tetapi juga semangat intelektual generasi bangsa.

Saat buku tak lagi bisa menghidupi penulisnya, maka kita sedang kehilangan satu kompas penting dalam arah kebudayaan nasional. Karena itu, menyelamatkan ekosistem buku bukan hanya soal bisnis tetapi menyelamatkan peradaban itu sendiri. Buku adalah jendela ilmu, dan kita tak boleh membiarkannya retak, apalagi pecah.

------------------------------------------

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Bangkrutnya Industri Buku, Nestapa Penulis di Negeri yang Malas Membaca", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/muhammadkhamdan3083/683654bd34777c723d0301a2/bangkrutnya-industri-buku-nestapa-penulis-di-negeri-yang-malas-membaca?page=3&page_images=1

Kreator: Muh Khamdan